Petani di Kudus seperti Sudarman dan kelompoknya biasanya menanam semangka hanya pada musim-musim kering, sekitar bulan Mei. Sedangkan di musim penghujan lebih banyak ditanami padi. “Pola tanam di sini biasanya padi-padi-palawija. Nah, saat palawija itu kita tanam semangka,” terang Sudarman.
“Mungkin karena kita tanamnya di musim kering dengan sistem tanam yang kering juga, akhirnya buah yang dihasilkan bisa lebih manis,” sambung Ruslan, salah satu petani di Desa Kutuk yang juga anggota kelompok tani yang dipimpin Sudarman.
Lantas, seperti apa sistem tanam kering yang diterapkan petani di Desa Kutuk tersebut? Menurut Sudarman, dengan sistem tanam kering, penanaman semangka tidak membutuhkan mulsa dan juga bedengan atau guludan. Tanah yang akan dijadikan media tanam cukup dilubangi, petani setempat menyebutnya dengan istilah dikowak, menggunakan cangkul dengan jarak tanam 65 cm x 5 m.
Sedangkan untuk mengendalikan gulma yang tumbuh, sebelum tanam dilakukan penyemprotan dengan menggunakan herbisida kontak. Meskipun hanya disemprot sekali dengan herbisida kontak, Sudarman tidak khawatir gulma akan tumbuh lagi. “Kalau pas kemarau, di lahan kering seperti di sini, rumput yang sudah mati disemprot herbisida tidak bisa tumbuh lagi,” jelasnya.
Setelah lahan siap, bibit semangka yang sudah siap tanam juga cukup ditanam begitu saja tanpa perlakuan apa-apa. Menurut Sudarman, bibit semangka akan tumbuh dengan sendirinya meskipun lahannya kering. “Akarnya sudah bisa tumbuh sendiri mencari air atau tempat yang dingin di dalam tanah. Tidak heran kalau akarnya bisa sampai panjang,” terangnya.
“Tanah di sini termasuk subur. Dengan sistem kering seperti ini tanaman lebih tahan terhadap kondisi cuaca, karena akarnya bisa dalam. Meskipun lahannya terlihat sangat kering sampai pecah-pecah tapi tanamannya masih bisa tumbuh bagus,” tegas Ruslan.
Pemupukan lebih irit
“Sistem kering lebih irit biaya. Karena tidak perlu banyak keluar biaya untuk membuat bedengan, parit, mulsa, dan juga pupuk. Modalnya hanya air yang lebih banyak,” ujar Ruslan. “Kalau siramannya bagus, hasilnya juga bagus,” tegas Ngateno, anggota kelompok Sudarman lainnya.
Dalam satu hektar lahan, petani semangka di Desa Kutuk rata-rata hanya menghabiskan biaya produksi sebanyak Rp. 10 juta. “Itu sudah termasuk biaya untuk sewa lahan,” terang Ruslan.
Memang, dengan sistem kering tersebut modal utama mereka hanya air. Selain tidak perlu mengeluarkan biaya dan tenaga lebih untuk mengolah tanah secara intensif dan membuat bedengan, mereka juga tidak memerlukan banyak pupuk sepanjang pertumbuhan semangka.
Pupuk dasarnya cukup dengan menggunakan Phonska sebanyak 500 kg/ha atau cukup satu sendok makan per lubang tanam. “Memang sedikit, karena kalau terlalu banyak tanaman bisa mati,” terang Sudarman.
Yang menarik, petani di Kutuk juga tidak menggunakan pupuk organik sebagai pupuk dasar. Padahal, kebanyakan petani selalu menggunakan pupuk organik atau pupuk kandang sebagai dasaran. “Karena tanah di sini termasuk subur dan kandungan N (Nitrogen)-nya cukup tinggi, sehingga tidak perlu tambahan N lagi. Kalau ditambahi pupuk kandang jadinya terlalu subur, pertumbuhan tanaman menjadi kurang bagus,” ujar Ngateno.
Pemupukan selanjutnya diberikan dengan sistem kocor pada lubang tanam saat tanaman berumur empat hari setelah pindah tanam dengan menggunakan pupuk KNO3 merah dan Ultradap. Dosis yang digunakan masing-masing sebanyak satu sendok makan per lima liter air. “Pemupukan ini tujuannya untuk memancing pertumbuhan akar agar cepat nglilir (bangun-red) dan menyerap pupuk dasar,” jelas Sudarman.
Selang seminggu kemudian diberi pupuk Phonska dengan dosis yang sama dengan pupuk dasar. Hanya saja penempatannya tidak pada lubang tanam, melainkan tepat di sebelahnya. Selain itu, tanaman juga kembali dikocor dengan KNO3 merah dan Ultradap. “Kocor KNO3 dan Ultradap terus dilakukan sampai tanaman berbuah seukuran telur ayam, dengan selang waktu seminggu sekali,” kata Ngateno.
Menurut Sudarman, setelah ukuran buah semangka yang terbentuk sebesar telur ayam, pengocoran selanjutnya diganti dengan menggunakan pupuk Grand K agar buah yang terbentuk lebih cepat besar. “Dosisnya tetap sama, yaitu satu sendok makan per lima liter air,” jelas Sudarman.
Setelah bobot buah sekitar satu kilogram, frekuensi pengocoran Grand K lebih diperbanyak, yakni dengan selang waktu hanya satu hari, sampai tanaman menjelang panen. Dengan demikian, kata Ruslan, tiap malam diameter buah semangka bisa bertambah hingga satu centimeter.
Pengocoran tersebut menurut Ruslan juga sekaligus untuk mengairi tanaman. Karena dalam sistem kering tidak dikenal pengairan dengan sistem parit ataupun lep. Kalaupun menggunakan mesin pompa air, itupun hanya untuk mengalirkan air ke tempat-tempat penampungan. Mengalirkannya juga harus menggunakan selang atau pipa agar tidak ada air yang bocor dan membasahi lahan. Sehingga, mau tidak mau pengairan harus dilakukan secara manual dengan sistem kocor pada masing-masing tanaman.
“Pokoknya lahan harus tetap kering. Kalau tanahnya sampai basah terkena air, tanamannya pasti banyak yang mati layu, karena akarnya busuk tergenang air,” terang Ruslan. “Makanya, sistem tanam ini hanya membutuhkan modal air dan kekuatan untuk ngocor,” imbuh Ngateno sambil tersenyum.
Selain lebih irit pupuk, kata Ngateno, dengan sistem tanam kering intensitas serangan hama penyakit juga relatif lebih kecil. Sehingga perawatannya menjadi lebih mudah dan tidak perlu mengeluarkan banyak biaya untuk membeli pestisida.
Sulur dibiarkan tumbuh
Di saat berbuah, untuk menghasilkan buah yang optimal, menurut Ngateno, dari beberapa buah yang terbentuk dalam satu tanaman, hanya dipelihara satu buah yang dinilai paling bagus. Buah tersebut lantas diberdirikan, dengan pangkal dan tangkai buah berada di atas, agar buah bisa membesar dengan bentuk yang sempurna.
Dalam sistem tanam semangka versi Sudarman dkk. tersebut, sulur atau batang tanaman semangka yang tumbuh menjulur dibiarkan merambat di atas permukaan tanah yang kering. “Sulurnya harus dibiarkan tumbuh lurus sampai sejauh-jauhnya, agar buah yang terbentuk bisa tumbuh besar. Kalau sulurnya sampai membelok, maka buah yang terbentuk bisa berbeda,” terang Ruslan.
Membiarkan sulur tumbuh lurus sampai sejauh-jauhnya itu menurut Ruslan juga sebagai salah satu cara untuk mendapatkan buah semangka yang besar dan berkualitas serta lebih tahan simpan. “Untuk mencapai buah delapan kilogram ke atas, tanaman harus bisa tumbuh lurus tanpa ada penghalang. Bahkan panjang sulur bisa mencapai tujuh meter,” terangnya.
Sudarman dkk juga tidak mengenal istilah topping atau pemotongan ujung sulur saat buah semangka sudah terbentuk. Menurut mereka, buah yang dihasilkan dari tanaman semangka yang ditopping tidak bisa tahan simpan. “Buahnya memang bisa cepat besar, namun kurang bisa tahan simpan di lapak,” ujar Sudarman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar